YOGYAKARTA, Kabarbetawi – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mendapat dukungan dan masukan berharga dari tiga orang Profesor dalam penyusunan Proposal Kenegaraan ‘menyempurnakan dan memperkuat sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa’.
Hal itu terungkap pada acara Fokus Grup Diskusi Membedah Proposal Kenegaraan DPD RI dengan tema ‘Menyempurnakan dan Memperkuat Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa’ yang diselenggarakan di UC Resto, Komplek Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (11/08/2023).
Dalam FGD itu, tiga narasumber berkompeten dihadirkan, di antaranya Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Kaelan, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Sudjito Atmoredjo dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang juga Pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila, Prof Suteki.
Dalam paparannya, Prof Kaelan menjabarkan sumber masalah kebangsaan ini terjadi ketika dilakukannya perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002. Menurut Prof Kaelan, yang dilakukan pada saat itu bukan amandemen, namun mengganti UUD, dari UUD 1945 menjadi UUD 2002.
“Itu bukan amandemen, tapi pengubahan secara fundamental yang berakibat tergantikannya seluruh konstitusi kita. Karena saat itu 95 persen, bahkan 97 persen isi UUD 1945 itu diubah. Ini sudah ganti konstitusi, ganti negara, makar konstitusi, sekaligus makar negara,” kata Prof Karlan.
Dipaparkannya, UUD 2002 hasil amandemen itu tak lagi mencerminkan Pancasila, melainkan paham Liberalisme. Prof Kaelan menyebut UUD 2002 melahirkan sistem ketatanegaraan yang paling rumit di dunia. Bagaimana tidak, antara satu lembaga dan lembaga lainnya tak memiliki keterkaitan satu sama lain.
“MPR tak jelas posisinya. Kalau tak jelas, maka kedaulatan rakyat juga tak jelas. Sehingga presiden tak ada yang menegur. Misalnya ketika Presiden melanggar konstitusi, MPR tak punya kewenangan mengontrol Presiden,” kata Prof Kaelan.
Dikatakannya, di dunia ini, konstitusi selalu berhubungan dengan identitas dan nilai bangsa. Sedangkan di Indonesia, hal itu sudah terputus, lagi-lagi imbas amandemen pada tahun 1999-2002.
Prof Kaelan sependapat dengan LaNyalla jika seluruh komponen dan elemen masyarakat harus terwakili di MPR. Maka, perlu adanya Utusan Golongan dan Utusan Daerah.
“Hak-hak rakyat jangan direduksi. Jadi, saya mendukung proposal DPD RI dan itu harus diperjuangkan. MPR harus mewakili segenap komponen bangsa,” tegas dia.
Sementara Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Sudjito Atmoredjo juga memberi masukan judul proposal tersebut tentang penyebutan para pendiri bangsa. Menurutnya, harus diperjelas yang dimaksud para pendiri bangsa itu siapa saja.
“Lalu, penyempurnaan sistem negara hukum dan Pancasila. Itu juga menjadi masukan saya dalam proposal kenegaraan ini,” ujar Prof Sudjito.
Hal lain yang menjadi sorotannya adalah harus adanya sistem yang mengikat seluruh warga negara. Dikatakannya, seluruh rakyat merupakan subyek dari negara dan memiliki kedudukan setara, yang saling berinteraksi dan saling melengkapi.
Hal yang mendapat perhatian Prof Sudjito juga dari aspek hukum. Para founding father, menegaskan bahwa Indonesia ini adalah rechtsstaat.
“Rechtsstaat itu konsep yang mendasarkan pada hukum Barat, tepatnya didasarkan pada Eropa Barat yang pada saat itu memang sudah modern. Rechtsstaat itu mengedepankan logika dan mengesampingkan aspek religiusitas. Indonesia tak seperti itu. Amandemen sebaiknya membahas itu, yaitu negara hukum yang berdasarkan Pancasila,” tegas Prof Sudjito.
Masukan terakhirnya adalah soal Pancasila. Dikatakannya, sebelum Indonesia merdeka, Pancasila itu sudah tumbuh dan hidup di tengah-tengah rakyat Indonesia. “Sebelum Indonesia ada, Pancasila sudah menjadi way of life masyarakat Indonesia. Itu yang kemudian digali oleh Bung Karno. Pancasila itu Grondslag. Pancasila itu ruhnya. Jiwanya adalah staats fundamental norm,” tegas dia.
Sementara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang juga Pakar Sosiologi Hukum dan Filsafat Pancasila, Prof Suteki secara tegas mendukung gagasan Ketua DPD RI. Kendati begitu, ada satu masukan dari Prof Suteki agar proposal kenegaraan tersebut semakin memiliki kekuatan untuk diwujudkan.
“Lima proposal tadi itu saya setuju. Tapi kita harus ingat bahwa Indonesia ini negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, Religius Nation State harus menjadi bingkai dari lima proposal yang tadi ditawarkan oleh Ketua DPD RI,” tegas Prof Suteki.
Dikatakannya, Pancasila itu sesungguhnya sudah mendarah daging di dalam masyarakat Indonesia. Hanya saja, dalam praktiknya justru terjadi penyimpangan yang luar biasa.
“Bahkan sejak bangsa ini berdiri sudah ada penyimpangan Pancasila. Kita lihat era Bung Karno, dasarnya Pancasila, tapi mempraktikkan konsep republik serikat dan lain sebagainya. Bahkan, penyimpangan itu terjadi hingga kini,” tutur Prof Suteki.
Pada titik itulah Prof Suteki menilai pentingnya konsistensi paradigma. Sebab, katanya, Pancasila ibarat kertas murni.
“Tintanya tergantung rezim mana yang menuliskan,” tegas dia.
Dikatakannya, jika Ketua DPD RI ingin agar kembali ke UUD 1945 ini dilakukan sebelum Pemilu yang jatuh pada 14 Februari 2024, maka jalan satu-satunya adalah melalui Dekrit Presiden.
“Jadi prinsipnya, saya setuju dengan lima proposal tadi yang digenapi dengan memastikan bahwa dia dilengkapi dengan bingkai religius nation state,” tutur Prof Suteki.
Sebagaimana diketahui, sebagai pelopor gerakan kembali kepada UUD 1945 naskah asli untuk selanjutnya diperbaiki dengan teknik addendum, Ketua DPD RI menawarkan lima proposal kenegaraan.
Yaitu mengembalikan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara sebagai sebuah sistem demokrasi yang berkecukupan. Membuka adanya peluang anggota DPR RI yang berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan atau non-partisan. Dengan begitu, selain diisi oleh anggota dari partai politik, nantinya DPR RI juga akan diisi anggota dari unsur perseorangan.
Tujuannya, kata LaNyalla, untuk memastikan agar proses pembentukan undang-undang antara DPR bersama Presiden, tidak didominasi oleh keterwakilan political group representative saja.
“Tetapi juga secara utuh di redundancy juga oleh people representative,” ulas LaNyalla.
Berikutnya memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme bottom up, bukan appointed by president seperti yang terjadi di Era Orde Baru.
Kemudian memberikan ruang kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan untuk memberikan memberikan pendapat terhadap materi RUU yang dibentuk oleh DPR dan Presiden. Sehingga terwujud partisipasi publik yang utuh.
Terakhir, menempatkan secara tepat tugas, peran dan fungsi Lembaga Negara yang sudah dibentuk di era Reformasi, sesuai dengan norma hukum tertinggi, Pancasila.
“Kelima penyempurnaan dan penguatan tersebut harus dilakukan dengan Teknik Addendum Amandemen. Sehingga, kita tidak mengubah konstruksi sistem bernegara yang dirumuskan para pendiri bangsa, tetapi menyempurnakan dan memperkuat,” ulas LaNyalla.
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi sejumlah Senator, di antaranya Hilmy Muhammad (DIY) dan Fachrul Razi (Aceh). Turut mendampingi Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin dan Kepala Kantor DPD RI DIY Drs Dedi Iswandi.
Hadir pula sejumlah tokoh, di antaranya Jenderal TNI (Purn), Tyasno Sudarto, Letjen TNI (Purn) Muhammad Setyo, Prof Sofian Effendi, Pengamat Ekonomi-Politik Ichsanuddin Noorsy, Koordinator Kajian Politik Merah Putih Sutoyo Abadi, Akademisi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Prof Aidul Fitriciada Azhari dan sejumlah tokoh lainnya. *(LI)