by M Rizal Fadillah
JAKARTA, Kabarbetawi – Kesewenang- wenangan tidak boleh ditoleransi meski dengan alasan apapun. Pemerintah tidak diberi hak untuk menjalankan kemauan sendiri atau kelompoknya. Apapun keadaannya, kita sudah sepakat bahwa rakyat itu yang berdaulat. Meminggirkan apalagi membuang kedaulatan rakyat adalah penghianatan atas kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara. Jika kedaulatan telah dirampas maka rakyat boleh bergerak untuk merebut kembali hak itu.
Negara demokrasi harus ditegakkan sedangkan tirani, oligarki dan aneksasi harus dihabisi. Penggusuran, pengosongan atau pengusiran masyarakat etnis Melayu Rempang adalah bukti dari tirani, oligarki dan aneksasi. Tirani “raja” Jokowi, oligarki rezim, dan aneksasi kolaborasi Xi Jinping dan Jokowi. Pulau Rempang potensial untuk direbut China. Melalui kerja Tomy Winata pengusaha keturunan China.
Proyek “Rempang Eco City” yang merupakan keputusan politik berbasis kepentingan bisnis dipaksa menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Kepmen 7 tahun 2023 bulan Agustus 2023 sepulang Jokowi dan rombongan diundang Xi Jinping untuk menandatangani “kerjasama berbahaya” di bidang kesehatan, pertanian, industri dan “penyerahan” IKN akhir Juli 2023. Rempang menjadi “pilot project” yang bersyarat “clear and clean”. Menggusur penduduk asli Melayu adalah konsekuensi hukum, politik dan ekonomi yang kemudiannya menjadi boomerang bagi Jokowi.
Pasukan bersenjata disiapkan untuk, dalam bahasa masa kolonial, menumpas pemberontakan. Ratusan Brimob dan ribuan TNI disiagakan untuk bergerak. Secara emosional dan di luar nalar kenegarawanan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memberi pengarahan “kesiapan tempur” menuju Rempang. Lucu sekali aparat ini, betapa serius dan gagah menghadapi rakyat sendiri tetapi “melempem” dan “banci” dalam menghadapi KKB Papua.
Jika “Panglima Tertinggi” Jokowi sudah memberi perintah sekurangnya restu bagi penyerangan atas etnis Melayu di Rempang maka Jokowi telah mengambil putusan strategis dari dua pilihan “menjaga keberadaan etnis Melayu” di lokasi Rempang atau “memenuhi kerjasama dan kemauan China”. Pilihan kedua artinya perintah perang. Rempang bersiap untuk diserang.
Rakyat pribumi di seluruh Indonesia tidak boleh menyerahkan “sejengkal tanahpun” kepada China. Sukses Rempang dapat menjadi awal menuju penguasaan atau penaklukan IKN Kalimantan oleh China. Hal itu telah masuk dalam MoU Chengdu Jokowi-Xi Jinping 2023 khususnya butir 5 dan 7.
Dua hal yang mungkin menjadi respons jika Rempang diserang “attact directed” dan “civilian population” dipaksa digusur atau diusir yaitu pertama, rakyat daerah lain akan datang membantu perjuangan etnis Melayu di Rempang. Kedua, sumber masalah yakni Jokowi harus tumbang. Jika ada program strategis nasional, maka tumbangnya Jokowi adalah program “strategis nasional” untuk membebaskan rakyat dari aneksasi dan invasi China. Tangan penguasa dan pengusaha komprador harus dipotong.
Tumbangnya Jokowi adalah alif ba ta solusi bangsa. Perbaikan dan pemulihan untuk membangun kemandirian serta mengembalikan kedaulatan rakyat. Penyelesaian tidak bisa bersifat parsial atau tambal sulam harus disepakati “konsensus nasional” baru yang berbasis kemurnian Ideologi dan Konstitusi. Sungguh pencemaran atas keduanya sudah sangat luar biasa terjadi selama Indonesia berada di bawah “rezim investasi” Jokowi.
Rempang dapat menjadi blunder Jokowi dengan melakukan pelanggaran hak asasi. Rempang adalah akhir buruk dari warna kekuasaan Jokowi yang faktanya memang tidak berprestasi dan tidak berkualifikasi. Terlalu banyak halusinasi dalam memenuhi ambisi. Ujungnya basa basi, ambivalensi dan lari sembunyi dari aspirasi para peserta aksi.
Jokowi memang sedang panik dan frustrasi. Karenanya mulai main ancam. Tetapi semakin keras tindakan terhadap etnik Melayu di Rempang maka semakin cepat Jokowi tumbang.
Meskipun ia dan kroni berlindung habis pada negara komunis China, Melayu Rempang tetap menang. *(LI)
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 17 September 2023