JAKARTA, Kabarbetawi – Hari ini 12 Oktober, Puluhan tahun peternak ayam mandiri selalu ditindas tanpa diperdulikan nasibnya, diduga perusahaan integrator lakukan Predatory pricing ayam hidup untuk menyingkirkan pesaingnya melalaui harga input sapronak (sarana produksi ternak ) yang tinggi dan selalu mengalami kenaikan yang tidak di imbangi dengan harga jual ayam hidup (Life Birds) dikandang, sehingga peternak mandiri selalu mengalami kerugian dalam berproduksi.
Peternak mandiri dibiarkan berproduksi dengan biaya produksi yang tinggi, yang seharusnya harga input sapronak bisa lebih murah dikarenakan sudah swasembada ayam pedaging, sewajarnya perusahaan integrasi vertikal menjual pakan dan DOC nya lebih murah dibanding kompetitornya sebab mereka mendapatkan bahan baku pakan serta kuota Impor GPS lebih banyak daripada kompetitornya mengapa malah sebaliknya menjual lebih mahal dibanding kompetitor mereka.
Kesulitan yang dialami peternak mandiri dan peternak rakyat ini tidak dapat dilepaskan dari langkah kebijakan Kementerian/Lembaga terkait, tidak memiliki orientasi yang jelas dalam melindungi peternak mandiri dan peternak rakyat dan telah diamanatkan dalam UUD 45 Pasal 28G ayat 1 dan Pasal 28H ayat 1 tentang Hak atas perlindungan diri pribadi dan Hak Hidup sejahtera.
Tidak memiliki data yang valid mengenai kebutuhan dan konsumsi ( Supty demand ) ayam broiler di Indonesia. Hal ini mengakibatkan supply and demand tidak dapat diproyeksikan secara tepat. Sehingga, di pasaran ketersediaan ayam selalu berlebihan ( over supply ). Ketiadaan data yang valid ini kemudian digunakan oleh perusahaan-perusahaan integrator untuk menguasai pasar dari hulu ke hilir yang berdampak secara langsung terhadap operasional dan kehidupan peternak mandiri dan peternak rakyat.
Situasi ini Predatory pricing perusahaan integrator menjual ayam hidup kepasar becek/tradisional Rp. 19.000 -20.000 per kg dibawah biaya pokok produksi peternak mandiri yaitu Rp. 21.000 — 22.000 per kg (berat ayam hidup 1,6 -1,8 kg) mengakibatkan harga jual ayam hidup di pasaran selalu turun dibawah HPP peternak mandiri, dimana input sapronak lebih tinggi daripada harga jual ayam hidup di kandang. Daripada terus menerus merugi kami berinisiatif melakukan membagi-bagi ayam hidup (Life Birds) kepada masyarakat sambil kami memohon keadilan kepada pemangku kebijakan.
Saat peternak mandiri panen justru harga ayam hidup selalu dirusak oleh para integrator ayam hidup (Life Birds) menjual dibawah Harga Pokok Produksi peternak mandiri sehingga selalu saja peternak mandiri menjadi korban, tetapi anehnya para Feedmill dan breeder justru dapat menciptakan pelaku baru untuk bermitra dengan iming iming bahwa berproduksi ayam pedaging menciptakan peluang serta keuntungan luar biasa padahal justru menjerumuskan investor kepada kebangkrutan dan bahkan ada beberapa peternak mandiri yang bunuh diri karena jeratan hutang. *(LI)